TIDUR SETELAH SUBUH
jangan coba-coba melakukan sesuatu yang di larang oleh agama, karna di balik larangan tersebut terdapat hal hal yang berbahaya bagi yang melakukannya , sebagai contoh islam melarang tidur di pagi hari karana banyak sekali mudorotnya seperti:
1. Masalah metabolisme Jika Saudara tidur terlalu lama ,tubuh tidak akan berfungsi sesuai =ritmenya. Anda akan merasa lapar dalam jangka waktu lama dan hal ini mempengaruhi kecepatan metabolisme. Hal ini akan membuat bobot tubuh meningkat .
2. Lesu Tidur berlebihan akan membuat Saudara merasa lesu karena metabolisme Saudara masih bekerja dalam ‘ set’ malam hari . Tubuh membutuhkan waktu lebih lama untuk memulai sistem dan tidak dapat berfungsi normal. Jika Saudara benar-benar ingin tidur sedikit lebih lama , usahakan jangan lebih dari tiga puluh menit.
3. Kehilangan waktu produktif Para ahli menganggap pagi hari adalah waktu paling produktif karena pikiran Saudara masih segar. Jika Anda tidur terlalu lama maka akan akhirnya kehilangan banyak waktu produktif dalam sehari. Sehingga, Anda harus menyelesaikan pekerjaan sampai
larut malam dengan terburu-buru .
4. Disorientasi Tidur terlalu lama membuat Saudara sulit berkonsentrasi dalam waktu lama . Kecuali, setelah bangun tidur Anda langsung berolahraga. Lalu , karena metabolisme tidak bisa berhenti otak akan membuat Saudara merasa lapar .
5. Sakit kepala
Cairan serebrospinal bergerak ke otak ketika Saudara tidur terlalu lama. Kondisi ini, jika berlangsung dalam waktu lama dapatmenyebabkan sakit kepala parah dan bahkan menyebabkan kebutaan. Jadi, pikirkan lagi jika Saudara ingin tidur lebih lama .Menurut para salaf , tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah) . Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang- orang sholih . Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk , mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barokah
6. hilangnya rezeki, barokah, dan datangnya bahaya kesehatan serta menipisnya antibody tubuh sehingga rentan sakit.
Hukum Tidur Setelah Subuh dan Setelah Ashar
Pertanyaan, “Apa hukum tidur lagi setelah shalat hubuh?”
Jawaban, “Untuk tidur lagi setelah seorang itu mengerjakan shalat shubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya sehingga hukum tidur setelah shalat subuh adalah sebagaimana hukum asal semua perkara non ibadah yaitu mubah.
Akan tetapi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.
Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui lalu mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” [HR Muslim].
Di samping itu Nabi berdoa kepada Allah agar Allah melimpahkan keberkahan untuk umatnya di waktu pagi.
Dari Shakhr al Ghamidi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi”.
Skakhr al Ghamidi, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.
Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.
Bertitik tolak dari hal di atas, sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.
Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi”
Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].
Kesimpulannya, yang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat di dunia ataupun di akherat. Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat subuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.
Dari Abu Yazid al Madini, “Pada suatu pagi Umar pergi ke rumah Shuhaib namun Shuhaib sedang tidur pagi. Umar pun duduk menunggu sehingga Shuhaib bangun”. Ketika bangun Shuhaib berkomentar, “Amir mukminin duduk menunggu sedangkan Shuhaib tidur pagi”. Umar mengatakan, “Aku tidak suka jika kau tinggalkan tidur yang bermanfaat bagimu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25454].
Sedangkan tidur setelah shalat Ashar hukumnya adalah juga mubah. Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi yang berisi larangan tidur setelah Ashar.
Sedangkan hadits dengan redaksi, “Barang siapa yang tidur setelah shalat Ashar lalu akalnya rusak maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” adalah hadits dengan kualitas bathil, tidak shahih dari Nabi. Silahkan simak penjelasan tentang kelemahan hadits tersebut di Silsilah Shahihah no 39
Hukum Tidur Sesudah 'Ashar dan Kedudukan Hadits yang Melarangnya
Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah
shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur
selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah
melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah,
apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian
ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu
akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada'
al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik
Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani
al-Atsar (1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2011/09/15/16127/hukum-tidur-sesudah-ashar-dan-kedudukan-hadits-yang-melarangnya/#sthash.vcFg1h5a.dpufHukum Tidur Sesudah 'Ashar dan Kedudukan Hadits yang Melarangnya
Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah
shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur
selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah
melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah,
apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian
ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu
akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada'
al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik
Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani
al-Atsar (1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2011/09/15/16127/hukum-tidur-sesudah-ashar-dan-kedudukan-hadits-yang-melarangnya/#sthash.vcFg1h5a.dpufHukum Tidur Sesudah 'Ashar dan Kedudukan Hadits yang Melarangnya
Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah
shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur
selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah
melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah,
apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian
ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu
akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada'
al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik
Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani
al-Atsar (1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2011/09/15/16127/hukum-tidur-sesudah-ashar-dan-kedudukan-hadits-yang-melarangnya/#sthash.vcFg1h5a.dpufHukum Tidur Sesudah 'Ashar dan Kedudukan Hadits yang Melarangnya
Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah
shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur
selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah
melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah,
apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian
ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu
akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada'
al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik
Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani
al-Atsar (1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2011/09/15/16127/hukum-tidur-sesudah-ashar-dan-kedudukan-hadits-yang-melarangnya/#sthash.vcFg1h5a.dpuf